Senin, 27 April 2009

manajemen pembiayaan pendidikan

logo SUARA MERDEKA
Line
Senin, 23 Juli 2007 WACANA
Line

Sumbangan Pengembangan Institusi

  • Oleh Nugroho

Dalam Kepmendiknas RI No: 044/2002 jelas ditegaskan bahwa untuk peningkatan mutu sekolah dibutuhkan peran serta masyarakat Atas dasar aturan main tersebut maka masyarakat perlu diberi informasi dan edukasi yang benar tentang pentingnya dana SPI.

MUSIM perburuan sekolah sudah berakhir. Namun hal itu bukan berarti beban orang tua murid berakhir. Sebaliknya, meskipun hati senang anaknya mendapat sekolah yang diidamkan, tugas orang tua murid masih besar yakni mengumpulkkan uang untuk sumbangan pengembangan institusi (SPI).

Semua sekolah bisa dipastikan memanfaatkan momentum penerimaan siswa baru untuk menghimpun dana dari masyarakat. Besaran dana SPI yang dipungut antara satu sekolah dengan sekolah yang lain memang berbeda karena kondisi dan kebutuhan juga berbeda.Dana pengembangan institusi memang sangat dibutuhkan oleh sekolah, namun masyarakat sering merasa keberatan, apalagi jika kesanggupan pembayaran itu satu paket dengan penerimaan siswa baru.

Artinya, syarat diterima atau tidaknya siswa masuk ke sekolah antara lain ditentukan oleh kesanggupan orang tuanya untuk membayar dana sumbangan pengembangan institusi yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah.

Keluhan masyarakat tentang besarnya dana sumbangan pengembangan institusi sudah sangat sering muncul di berbagai media. Tapi hingga saat ini tidak satu pun jajaran birokrasi dari dinas pendidikan bersedia memberikan klarifikasi yang memuaskan masyarakat. Kesannya masalah SPI merupakan persoalan sekolah.

Kondisi ini jelas tidak menguntungkan, baik bagi pencitraan sekolah di satu pihak maupun pemenuhan kebutuhan informasi yang akurat bagi masyarakat di pihak lain. Tulisan ringkas ini mencoba menjelaskan fenomena SPI dari pespsektif manajemen pembiayaan pendidikan.

Pembiayaan Pendidikan

Pada musim penerimaan murid, politisi dan pemimpin daerah yang getol mengampanyekan pendidikan gratis. Suara lantang para petinggi dan politisi itu hilang entah ke mana meskipun diam-diam surat sakti yang dibuatnya juga berseliweran menyambangi ruang kerja kepala sekolah di sekolah-sekolah favorit. Akhirnya seperti yang kita Iihat pasal-pasal dalam Perda pendidikan yang meniadakan penerimaan siswa baru dengan sistem bina lingkungan (Bilung) dan sejenisnya gugur karena kuatnya arus besar surat sakti itu.

Lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit, jangankan pendidikan gratis, pendidikan dengan biaya mahal pun belum tentu mulus jika diadang adanya surat sakti para petinggi. Tidak ada barang gratis di muka bumi ini, apalagi yang namanya pendidikan.

Jika daerah benar-benar mencanangkan pendidikan gratis, maka sesungguhnya tetap saja ada pembiyaan pendidikan, hanya saja tanggungan pembiayaan pendidikan itu dialihkan dari tanggungan orang tua, menjadi tanggungan pemerintah yang sumbernya adalah juga pajak yang dipungut dari masyarakat.

Pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam manajemen pendidikan, pembiayaan dipisah dalam tiga kategori. Pertama biaya operasional yakni biaya pendidikan yang digunakan untuk menunjang kelancaran operasional pembelajaran sehari-hari. Pembiayaan dalam kelompok inilah yang saat ini coba dibantu pemerintah pusat melalui BOS (biaya operasional siswa).

Kedua, biaya pengembangan staf yakni pembiayaan pendidikan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan sekolah mencapai mutu layanan yang optimal. Termasuk pembiayaan dalam kelompok ini adalah biaya untuk membantu guru-guru mengikuti berbagai seminar dan workshop yang terkait langsung dengan kemampuan profesional guru, membantu guru dalam meningkatkan kualifikasi akademiknya lewat beasiswa studi ke S2 dan sejenisnya.

Ketiga, biaya investasi yakni pembiayaan pendidikan yang diagendakan sebagai investasi masa depan sekolah. Termasuk dalam kelompok pembiayaan ini adalah pembangunan gedung, laboratorium sekolah, jaringan internet untuk pembelajaran, penyediaan sarana prasarana perpustakaan dan sejenisnya yang semua itu bermakna sebagai investasi keunggulan sekolah di masa depan.

Jika kita cermati dengan seksama, jelas bahwa keberadaan dana sumbangan institusi tersebut memang sangat dibutuhkan untuk kemajuan sekolah. Sebab, sampai saat ini pemerintah pusat maupun daerah belum mampu mengatasi kebutuhan pembiayaan pendidikan sepertti tersebut di atas. Bahkan jika mencermati APBD di beberapa daerah (kabupaten - kota) rata-rata dana belanja publik hanya mencapai kisaran 28% hingga 30% saja. Itu pun masih dibelanjakan untuk 21 sektor pembangunan. Mana mungkin mampu menggratiskan pendidikan. Bisa saja digratiskan tapi dikhawatirkan prestasinya juga gratis alias semakin tidak bermutu.

SPI adalah Legal

Mengacu pada prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), pungutan, kalaupun ada yang harus diperbaiki adalah masalah transparansi dan akuntabilitas publik proses pemungutan dan penggunaan dana SPI oleh sekolah dan komite sekolah. Dalam hal ini komite sekolah sebagai partnership sekolah yang merepresentasikan kepentingan orang tua murid dan warga masyarakat.

LSM dan pihak pemangku kepentingan pendidikan harus sadar betul tentang urgensi dana pengembangan institusi untuk kemajuan lembaga pendidikan. Mereka perlu mengawasi, tapi tidak melarang atau menjadi pressure group yang menisbikan dana SPI.

Yang patut dijaga adalah mekanisme pemungutan serta penggunaannya; apakah memenuhi syarat transparansi dan akuntabilitas atau tidak. Tidak kalah pentingnya dalam hal pemungutan dana SPI adalah prinsip keadilan. Artinya perlu ada prinsip keadilan yang berbasis pada kemampuan masing-masing orang tua murid. Jadi jangan sampai SPI dipukul rata antara siswa yang mampu dan kurang mampu.

Implementasi prinsip keadilan ini adalah adanya subsidi silang antara mereka yang mampu dan yang tidak mampu. Masyarakat dari kalangan mampu boleh diminta sumbangan lebih besar dari yang kurang mampu. Bahkan sangat direkomendasikan bahwa anak-anak yang kurang mampu atau bahkan tidak mampu secara ekonomi tapi secara ideaInya, dibebaskan dari pungutan SPI. Idealnya sekolah menyediakan 10% kursi untuk anak cerdas dari kalangan yang tidak mampu; hal ini sudah dilakukan di beberapa perguruan tinggi yang sama sekati tidak memungut sumbangan apa pun (batas minimum administrasi saja) bagi mereka yang memang tidak mampu.

Pada akhirnya, semua pihak perlu memiliki kesepahaman bahwa pendidikan membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Ada yang bisa ditanggung pemerintah dalam jumlah terbatas, namun ada juga yang memang harus ditanggung oleh masyarakat. Pendidikan bermutu jelas butuh biaya. SPI hanyalah salah satu cara; hal itu tidak perlu dipertentangkan. Yang harus dilakukan adalah mengawasi dengan cara-cara yang benar apakah proses pemungutan dan penggunaan SPI sudah memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pencitraan publik seperti yang dicanangkan dalam Renstra Depdiknas RI. (11)

- Dr Nugroho, M Psi, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes, konsultan World Bank untuk Peningkatan Mutu Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar